“Mama Rika, Aku Bisa !”

 “Mama Rika, Aku Bisa !”

 (Esther Haluk)

 

Angin dingin sore itu keras menerpa tubuh ringkihnya, namun dengan langkah pelan Mama Rika, perempuan setengah baya itu berjalan menyusuri jalan menuju rumah setengah beton yang selama ini ditempatinya bersama kedua anaknya yang sedang beranjak dewasa, tepatnya di daerah Pos 7, Sentani.

Banyak hal yang sedang berkecamuk dalam benak sederhana miliknya. Entah apa yang sedang di pikirkannya, beban yang dipikul didalam hatinya itu pasti berat. Tak seperti biasanya, langkahnya terlihat gontai, dan tatapan matanya terlihat nanar.

Ia seperti orang linglung.

Entahlah.

Kisah hidupnya memang tragis, namun baru kali ini ia terlihat begitu lesu dan tak bersemangat.

Dulunya ia adalah seorang perempuan yang sangat bahagia, memiliki suami yang begitu mencintainya namun kini mereka seperti orang asing.

Bahkan terkadang berusaha keras untuk saling melupakan bahwa pernah ada cinta diantara mereka.

Bahkan jika bisa, jejak-jejak kenangan itupun harus terhapus dari raga maupun hati mereka.

Mereka telah berpisah. Mama Rika, memilih merelakan suaminya pergi dari kehidupannya meskipun sakit.

Ada kisah yang pahit yang harus ia kubur, dan lupakan demi kedua buah hatinya, Anis dan Liana. Kedua buah hatinya itu masih sangat kecil saat suaminya, meninggalkannya dan memilih hidup dengan seorang perempuan yang merupakan teman kuliahnya di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan di kota Jayapura. Anaknya Liana, berusia 8 tahun sedangkan Anis 6 tahun ketika kejadian itu terjadi. Tanpa mengucap sepatah katapun, sang suami berlalu dari kehidupannya meninggalkannya dalam kekalutan dan tanggung jawab mengurus anak hasil pernikahan mereka.

Berlalu begitu saja. Seperti angin. Meninggalkan jejak kehidupan, kedua anak-anaknya,

Kini Anis, anak termudanya sudah berada di tahun ketiganya di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris di Kampus Universitas Cenderawasih. Lain halnya dengan Liana, anak gadisnya, yang mengambil konsentrasi Ilmu Keperawatan dan saat ini berada di tahun terakhirnya, di Politehnik Kesehatan yang berada di daerah Padang Bulan, Jayapura.    

Setelah lulus ujian persamaan dan mendapatkan Ijazah Paket A, suaminya, memberitahunya bahwa Ia ingin melanjutkan ke jenjang lebih tinggi di daerah Sentani agar kelak bisa menjadi seorang guru.

Tak ada yang membiayai Pendidikan suaminya, karena itu Mama Rika memutuskan untuk bekerja, mengolah tanah dan berdagang, demi membiayai kuliah suaminya tercinta. Pendidikan suaminya itu juga demi masa depan mereka dan anak-anak mereka sehingga terpisah sementara dari suaminya tak terlalu terasa lama dan berat baginya.

Toh, Sentani tidak jauh. Hanya 25 menit jauhnya jika menggunakan pesawat Trigana yang selama ini melayani rute penerbangan dari Sentani ke Kota Wamena.

Pasangan suami isteri tersebut sudah berbicara panjang lebar dan merencanakan masa depan mereka, dan bagaimana mengurus pendidikan serta masa depan kedua buah hati mereka, Liana dan Anis.

Mama Rikalah yang selama ini mengumpulkan rupiah, lembar demi lembar untuk menyokong pendidikan suaminya. Namun, suatu siang, setelah laki-laki itu memperoleh ijazah sarjana, ia pulang membawa seorang perempuan lain, dan memberitahunya bahwa ia akan menikahi perempuan lain tersebut.

Semenjak kepergian suaminya, Mama Rika tak berkubang lama menangisi nasibnya dan anak-anaknya karena kesadaran baru menyentaknya bahwa ia masih memiliki harapan untuk berbahagia dimasa mendatang, kebahagiaan melalui kedua buah hatinya ini. Sambil menguatkan hatinya, Mama Rika, mulai meneruskan rutinitasnya berjualan untuk menghidupi kedua anaknya dan membiayai keduanya meneruskan pendidikan semampunya.

Luka dan keperihan hatinya ditepisnya sejauh mungkin agar kedua anaknya tak melihatnya dalam keadaan rapuh.

Canda tawa dan keriangan serta kepolosan mereka sebagai anak kecil selalu menghiburnya bahwa setidaknya masih ada hal yang membuat dunianya tidak sesuram yang ia bayangkan. Dengan kasih sayang dididik dan dibesarkannya kedua anaknya tersebut. Mama Rika, tak membiarkan duka dan air mata memburamkan matanya untuk terus menatap kedepan mengais rejeki demi menghidupi kedua buah hatinya.

Rutinitas hariannya untuk bangun sepagi mungkin, menyiapkan sarapan kedua anaknya dan langsung pergi berjalan kaki saat terang mentari belum merekah untuk membeli sayuran segar yang dibawa oleh para petani dari daerah Depapre atau sekitarnya. Sayuran tersebut kemudian di baginya dalam ikatan-ikatan kecil dan dijualnya kembali di pasar Umum Sentani.

Selain itu juga, ia sudah lama menjual sayuran-sayuran segar yang dikirimkan oleh adiknya Lena setiap dua hari sekali dengan pesawat pagi dari Wamena. Sebagai gantinya, Mama Rika mengirimkan pinang dan sagu untuk dijual adiknya tersebut di pasar umum dikota berhawa sejuk tersebut. Keduanya sudah melakukan hal tersebut sejak lama. Dari hasil berdagang itulah, kedua perempuan ini, Lena dan Mama Rika, mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga saat ini.

Tak ada bantuan modal dari siapapun.

Tapi setiap rupiah yang mereka kumpulkan satu-demi satu kemudian mereka jadikan modal untuk terus berdagang karena hanya itu pilihan satu satunya akibat pendidikan mereka yang minim. Kehidupan terus berjalan disela-sela waktu yang berlari cepat tak terkejar. Hanya aza dan keinginan untuk bertahan hidup yang memberi kekuatan meneruskan langkah dan merajut impian dalam diam.

Ada tanya dalam benak sederhana Mama Rika, pada suatu Ketika saat  anaknya, Liana, pulang dengan wajah lesu karena namanya tak ada dalam daftar nama mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Uncen padahal ia merasa mampu menyelesaikan semua tes masuk dengan mudah. Apalagi Liana juga mendapat rekomendasi dari sekolah tempatnya belajar karena ia termasuk dalam daftar siswa berprestasi. Mungkin status dan pekerjaan orang tuanya sebagai petani membuatnya tersingkir dari bursa calon mahasiswa karena biaya sekolah difakultas kedokteran memang terkenal mahal. Ah, tak ada yang tahu misteri tersebut, Hanya mereka-mereka di dalam sana yang tahu criteria standar mereka menerima mahasiswa baru.

Akhirnya, Liana memilih melanjutkan studi di Akademi Keperawatan demi mengejar cita-citanya untuk melindungi kehidupan.

Dua tahun kemudian, tiba giliran putra bungsunya Anis memasuki bangku kuliah dengan memilih menjadi guru terutama guru Bahasa Inggris, pelajaran favoritnya. Lengkap sudah kebahagiaan Mama Rika, meskipun kegelisahan merambat pelan dalam benaknya dari manakah ia akan mendapatkan dana membiayai kedua anaknya tersebut.

Mama Rika tak percaya bahwa pemerintahnya akan memberi bantuan bagi pendidikan anaknya, karena dana pembangunan khususnya pendidikan berjumlah besar yang sering ia dengar ternyata tak pernah jelas rimbanya. Yang terlihat justru banyak kendaraan dinas berkaca hitam legam berseliweran kesana-kemari ditumpangi oleh anak-anak bangsanya yang terkadang dengan tak malu-malu mengendarainya diluar jam dinas untuk keperluan keluarga, bersantai di mall-mall yang mulai tumbuh seperti jamur  dikota ini.

Pernah suatu ketika Mama Rika meminta Liana membantunya membuatkan proposal untuk ia bawa ke Dinas Pendidikan, dengan tujuan untuk meminta bantuan beasiswa untuk putrinya tersebut. Ada tetangga Mama Rika yang berasal dari Kota Ambon yang sudah lama berdomisili didaerah Sentani, yang bekerja di kantor pemerintah Provinsi Papua yang memberitahukan padanya untuk membuat proposal dan meminta dana bagi biaya Pendidikan bagi kedua anaknya. Karena itu, Mama Rika memutuskan untuk mengadu nasib, membawa proposal dan meminta bantuan dana dari Pemerintah Daerah guna meringankan bebannya.

Jantungnya berdegup kencang saat ia berjalan memasuki gedung berlantai tegel berwarna putih, yang terlihat lincin dan mengkilap

“Selama ini mereka tak pernah membantuku, memberikanku modal namun aku masih bisa berdiri diatas kakiku sendiri, bertahan hidup mengumpulkan kepingan-kepingan rupiah, dan telah terbiasa dengan kehidupan seperti itu, untuk apa aku mengemis untuk hal yang tak mungkin kudapatkan”, batinnya dengan tekad bulat.

Mama Rika hanya menyimpan sejumlah tanya dalam benaknya siang itu, ‘di sana ada anak-anaknya yang berpakaian khaki namun mengapa tak ada satupun yang menemaninya mempertanyakan haknya? Mereka justru sibuk duduk begerombol di depan sebuah ruangan yang bertuliskan Bank Papua sambil membahas gaji maupun  tunjangan apa yang akan mereka dapatkan. Bahkan sebahagian dengan tidak malu-malu melewatinya sambil memikul beras jatahnya dengan senyum lebar karena jatah kerja mereka sebagai pelayan masyarakat telah mereka dapatkan.

Tapi siapa yang mereka layani?

Suasana kantor lenggang karena semua orang pulang menghitung berapa potongan gaji mereka, menyisihkan uang untuk pendidikan anak-anak mereka dan biaya belanja bulanan mereka? Siapa yang akan mengurus dan sekedar peduli apakah ia dan orang-orang sepertinya akan bertahan hidup di hari esok berjuang untuk bertahan hidup di tengah kehidupan yang keras dan kejam ini dan membagi remah-remah yang mereka nikmati dengan rakus setiap bulannya dengan menjilat segala hal yang mampu  mereka jilat dan isap?

Jika pemerintah yang merupakan anak-anak bangsanya tak mampu menantang kekuatan bernama kekuasaan lantas apa gunanya keberadaan mereka di sana? Hanya menjilat remah-remah makanan sisa dari para pencuri dan penjarah yang menjarah tanah dan negeri mereka sambil meninabobkan mereka dan menjauhkan mereka dari realitas masyarakat mereka dengan segala macam tunjangan untuk menjinakan mereka? Menutup mata dan pura-pura buta melihat pemimpin mereka mencuri dan menjarah semua hal yang menjadi hak masyarakat mereka, karena ketakutan bahwa ketika mereka membuka mulut dan berbicara maka pangkat mereka takkan naik dan kue kekuasaan takkan mereka nikmati di kemudian hari? Lantas dimana orang kecil sepertinya lari mengadu sekedar untuk meminta pertolongan?

Saat pembayaran kuliah kedua anaknya mendekat, sedangkan jualannya tak laku karena banyaknya saingan yang menjual jenis barang yang sama dengannya, hatinya teriris dengan kepedihan. Namun, ia terus berusaha bertahan untuk berjualan hingga petang menjelang, bahkan membeli pinang untuk di jual di dekat mata jalan di depan rumahnya.

Mama Rika heran karena baru-baru ia mendengar bahwa biaya pendidikan bagi anak-anak Asli Papua, akan di bebaskan dari segala macam biaya pendidikan namun kenyataannya ia masih harus membanting tulang untuk membayar biaya tunggakan semester anaknya yang jumlahnya sangat besar.

Ia semakin heran saat anaknya, Anis, sakit beberapa bulan lalu. Ia mengantar anaknya untuk berobat di sebuah Rumah Sakit Umum namun biaya yang harus ia keluarkan untuk menebus resep-resep sangatlah besar jumlahnya. Padahal beberapa minggu sebelumnya ia mendengar penjelasan tetangganya bahwa ada potongan biaya berobat bagi orang seperti dirinya di rumah Sakit Umum Daerah, di manapun di Papua.

“Namun, itu hanya cerita isapan jempol belaka”, pikirnya. Kenyataannya, ia harus membayar mahal untuk pegobatan anaknya. Hal itu membuat Mama Rika berfikir ‘ah, mungkin subsidi biaya kesehatan bagi masyarakat yang sering ia dengar itu sebenarnya bukan diperuntukan bagi mereka, masyarakat kecil, tetapi bagi para Abdi Masyarakat tersebut. Berarti semua program yang dibuat atas nama rayat agar dana kucuran menjadi lebih besar sebenarnya bukan diperuntukan bagi mereka, masyarakat kecil, tetapi bagi kelompok yang menamakan diri Abdi Masyarakat tersebut saja’.

Kenyataan pahit itu meyakinkannya bahwa ia harus lebih kuat bekerja dan bertahan hidup. Namun itu bukan hal baru untuknya, ia sudah terbiasa dan kuat berdiri tegar menantang badai kehidupan.

Ada dan tidaknya bantuan Pemerintah, takkan merubah kehidupannya. Waktupun berlalu, namun tak sekalipun tekadnya kendor.

Hari ini, untuk kedua kalinya ia berdiri dalam gedung megah menghadiri acara bernama Wisuda, dan untuk pertama kalinya ia memasuki gedung bernama Auditorium Uncen yang biasanya ia lihat dari luar setiap kali memakai taksi ke Abepura. Mulai esok ia tak perlu bangun pagi dan bisa mengasoh dari rutinitasnya karena Liana sudah menjadi perawat dan esok anaknya, Anis, akan menjadi seorang Pendidik. Tangisan haru mengalir di pipinya saat nama anaknya di panggil di depan ribuan orang berpakaian rapi untuk menghadap seorang Rector agar toga anaknya di miringkan sebagai symbol keberhasilannya menamatkan pendidikan. Sambil menyeka air matanya, Mama Rika menatap tak berkedip mengikuti momen terpenting anaknya.

Setelah bersalaman dengan para petinggi kampusnya diatas podium, Anis berbalik menatap ribuan pasang mata dan mencari wajah Mama Rika dan menatap langsung ke mata ibunya dengan mata berkaca-kaca dan menundukan kepala memberi penghormatan di depan semua orang.

Suatu keberhasilan menantang badai kehidupan dan berdiri tegar saat segalanya serasa menjadi tidak mungkin!!